Hari Terakhir di Palembang: Menyusuri Luasnya Sungai Musi dan Tempat Wisata di Sekitarnya

Blog ini bercerita tentang hari terakhirku saat di Palembang. Apabila kamu belum membaca hari pertama dan hari kedua, kamu dapat membacanya langsung di sini (untuk hari pertama) dan di sini (untuk hari kedua).

Selamat menikmati cerita terakhirku di Palembang

------------

Setiap pertemuan pasti ada perpisahan. Setiap terbit pasti akan tenggelam. Hanya saja, di sepanjang jalannya dari pertemuan hingga perpisahan selalu muncul kenangan-kenangan yang manis untuk disimpan di lemari ingatan.

Tidak terasa, kaki ini harus beranjak pergi dari tanah Palembang semenjak dua hari yang lalu telah mengarungi beberapa wisata yang berada di kota ini. Kini, di hari terakhir aku dan rekan-rekan blogger lainnya akan diajak untuk mengarungi sungai Musi dan tempat wisata di sekitarnya, sebelum esoknya kami harus pulang ke kota masing-masing. 

Tentu saja, aku tidak akan melupakan indahnya kota Palembang. Hal yang tampaknya akan sangat aku kenang adalah jajanan-jajanan yang berada di pinggir jalan di setiap sudut kota Palembang. Biasanya di kota-kota lain jajanan yang disajikan adalah gorengan, es teh dll. Namun saat di Palembang gorengan tersebut tidak aku temukan, melainkan diganti dengan pempek dan cukonya. Dengan begitu aku dapat menikmati pempek di pinggir jalan dengan hanya membayar Rp1.000/satu pempek. Hmm hal ini tentu akan sangat aku rindukan saat meninggalkan kota Palembang.

Sebelum mengunjungi sungai Musi, kami peserta Famtrip Musi dan Beyond 2019 diajak muter-muter terlebih dahulu untuk mencari oleh-oleh. Destinasi wisata yang akan kami tuju adalah Fikri Songket dan Kenten Street.

Fikri Songket

Di hari ketiga, sebelum mengarungi sunga Musi kami diajak untuk melihat-lihat koleksi kain songket dan pusat oleh-oleh yang berada di Fikri songket, Palembang. Di sini banyak sekali kain-kain dengan berbagai motif yang menarik dan unik untuk dipinang. Harganya pun cukup mahal, berkisar Rp200.000 hingga ada yang puluhan juta. Hmm, aku sendiri tentu tidak tertarik untuk membeli kain-kain ini karena harganya cukup mahal hehe. Walaupun aku tidak membeli kain, di Fikri songket ini aku membeli satu buah batik khas Palembang. Batiknya memang memiliki motif yang unik dan luar biasa. Lumayan beli satu buat nanti kalau ada acara kondangan hehe.

koleksi kain di Fikri songket

salah satu contoh kainnya
Puas melihat-lihat batik dan sebagainya, kami lalu bergegas menuju ke pemberhentian selanjutnya, yaitu Kenten Street.

Kenten Street

Ada yang menarik dari tempat ini. Karena selain menyajikan beraneka ragam stand makanan dan minuman serta oleh-oleh khas Palembang, di Kenten Street ini kita dapat belajar bagaimana membuat pempek sendiri!wow, tentu saja asyik. Aku sendiri cukup melihatnya dan menunggu hasilnya selesai hehehe. Memang pada awalnya adonan pempek direbus terlebih dahulu lalu kemudian dapat dimakan secara mentah maupun digoreng nantinya. Pada waktu itu, aku mencoba pempek telur yang sudah direbus dan rasanya memang enak banget!.

kawasan kenten street

pempek yang sedang direbus
Selain melihat bagaimana cara membuat pempek, di sini kami juga makan siang terlebih dahulu lalu kemudian melanjutkan perjalanan lagi menuju ke dermaga sungai Musi. Ohya, sebelum ke dermaga sungai Musi, kami berhenti terlebih dahulu di pasar untuk membeli oleh-oleh lagi.

Dermaga Sungai Musi dan Dimulainya Musi Tour

Sesampainya di dermaga sungai Musi, aku sangat takjub melihat megahnya jembatan ampera yang berada di depanku. Hari masih sore, sekitar jam 3 an waktu itu, sehingga angin bertiup cukup kencang, ditambah cuaca sedang mendung. Oh ya, di dekat dermaga Musi ini juga ada KFC serta makanan lainnya. Kamu dapat menikmatinya saat malam hari sembari melihat keindahan sungai Musi.

Tanpa berlama-lama, kami menaiki perahu ketek untuk menuju ke dua tempat wisata, yaitu Kampung Wisata Arab Al-Munawar dan Pulau Kemaro. Rasanya sangat menyenangkan menikmati wisata sungai di tengah kota seperti ini. Terakhir kali aku naik ketek saat hendak menuju ke pulau panjang, Jepara dari pantai Kartini.

Di depan sana terpampang jelas jembatan ampera yang sangat megah. Kami akan melewati jembatan tersebut dari bawah sehingga aku dan rekan-rekan blogger lainnya langsung mempersiapkan diri untuk mengabadikan momen berlatarkan jembatan ampera dari bawah sini. Cekrek! aku pun juga ikutan berfoto, tapi hasilnya tidak terlalu bagus hehe.

jembatan ampera dari bawah

pose dulu cuyyy

Perjalanan mengarungi sungai Musi menggunakan perahu ketek di tengah-tengah kota membuat pikiranku tenggelam di antara suara gemericik air sungai Musi. Udara yang pas dengan angin yang sejuk seakan-akan mengantarkanku ke sebuah tempat yang belum pernah terjamah sebelumnya oleh orang-orang. Hanya aku yang berada di sana, serta imajinasiku. 

pemandangan sekitar sungai Musi
Setelah hampir berjalan menggunakan perahu ketek selama 20 menit, kami sampai juga di destinasi pertama, yaitu Kampung Arab Al-Munawar.

Kampung Arab Al-Munawar

kampung arab al munawar tampak depan
Begitu sampai di Kampung Arab Al Munawar, kami langsung disuguhkan dengan kopi dan kue khas Arab yang bernama kue Ka'an. Kue ini memang memiliki tekstur yang lembut dan terbuat dari rempah-rempah seperti jahe, kayu manis, pala, merica, cengkeh, kapulaga, adas, madu, telur ayam kampung, gula, terigu, minyak samin, mentega serta jinten hitam. Rasanya memang sangat enak bangetttt! aku bahkan sampai ketagihan mencobanya hehe.

Sajian ini dimakan dengan kopi yang masih hangat dan rasanya pun sangat enak. Wah, tambah asyik tentunya menyantap kue Ka'an ini.


kue ka'an dan kopi, sajian pembuka

Setelah puas menikmati sajian pembuka, kami langsung diantarkan oleh guide setempat untuk mengelilingi Kampung Arab ini. Kata ibu guide tersebut, kampung ini sudah berdiri sekitar 380 tahun yang lalu. Terdiri dari 48 rumah dan dahulu diisi oleh orang peranakan Arab Belanda. Sepanjang perjalanan, kami disuguhkan dengan berbagai macam rumah dengan arsitek yang kental akan nuansa tradisional. Ada yang bergaya rumah limas khas Palembang, ada rumah-rumah panggung yang kembar dan juga ada rumah yang memiliki arsitektur Timur Tengah dan Eropa.

lorong di kampung arab al munawar

salah satu contoh rumah di kampung arab

rumah di kampung arab al munawar
Karena keterbatasan waktu yang kami miliki, maka kami hanya sebentar melihat-lihat arsitektur unik dari rumah-rumah di Kampung Arab Al Munawar ini. Oh ya, Kampung ini mendapatkan penghargaan sebagai kampung adat terpopuler dan terbersih di Indonesia dari Anugerah Pesona Indonesia. Kalau kamu sedang mampir ke Palembang, cobalah melipir ke kampung ini. Dijamin tidak akan menyesal!.

pintu masuk kampung arab al munawar
Kami lalu melanjutkan ke destinasi wisata selanjutnya, Pulau Kemaro.

Pulau Kemaro

Pulau ini terkenal dengan kisah cinta sejati yang sangat manis antara putri raja yang bernama Siti Fatimah dengan pangeran dari Tiongkok yang bernama Tan Bun An. Pada awalnya sang pangeran sedang mengembara ke Palembang untuk melakukan perdagangan. Namun Tan Bun An bertemu dengan Siti Fatimah, seorang putri dengan paras yang sangat manis di Palembang sehingga Tan Bun An jatuh cinta kepada Siti Fatimah. Tan Bun An pun akhirnya mengajak Siti Fatimah ke Tiongkok untuk bertemu dengan orang tua Tan Bun An.

Saat di Tiongkok, Tan Bun An dan Siti Fatimah diberi hadiah tujuh guci yang berisi emas. Mereka pun hendak kembali ke Palembang. Saat sampai di sungai Musi, Tan Bun An penasaran ingin melihat isi guci tersebut. Setelah ia melihatnya, ia sangat kecewa karena gucinya hanya berisi sayuran dan sawi-sawi asin. Tan Bun An seketika langsung membuang guci-guci tersebut. Namun saat guci terakhir hendak dibuang, guci tersebut jatuh di dek kapal dan pecah. Ternyata di dalam guci terdapat emas. Sayuran tersebut hanya untuk menutupi emas guna mengelabui para perompak.

Dengan perasaan menyesal, Tan Bun An pun terjun ke sungai untuk mengambil guci yang dibuangnya. Siti Fatimah yang tak rela ditinggalkan begitu saja oleh Tan Bun An juga ikut terjun ke sungai Musi sambil berucap 'jika ada tanah muncul di sungai itu, di situlah kuburannya' Keduanya pun tak pernah kembali dan Pulau Kemaro menjadi tempat persemayamannya.

pintu masuk pulau Kemaro
Sesampainya di pulau Kemaro, kami langsung diajak untuk melihat maqom yang konon merupakan maqom dari Tan Bun An dan Siti Fatimah. 

maqom

suasana di sekitar maqom

suasana di sekitar maqom

Selain adanya  maqom tersebut, di Pulau Kemaro juga terdapat pagoda yang bentuknya hampir mirip dengan pagoda  Vihara Buddhagaya Watugong yang berada di Banyumanik. Pagoda ini memang menjadi daya tarik bagi para wisatawan untuk mengambil foto di tengah-tengah Pulau Kemaro.

Untuk sampai ke Pulau Kemaro, kamu dapat menggunakan perahu ketek dari dermaga Musi yang berharga kisaran Rp200.000/250.000 per perahu. Jarak tempuh dari dermaga Musi ke Pulau Kemaro sekitar 45-50 menit an. Seperti yang sudah aku alami tad, di sepanjang perjalanan kamu akan menikmati suguhan sungai Musi yang luas, ditambah dengan pemandangan-pemandangan industri kapal yang cukup unik.

pemandangan di sepanjang perjalanan menuju ke pulau Kemaro

Tak terasa matahari telah terbenam di Barat. Kami bergegas pulang menuju ke dermaga Musi sekaligus mengakhiri Musi Tour pada hari ini. Ah, rasanya senang sekali dapat mengenal sungai Musi dari dekat seperti ini. Berharap suatu hari nanti aku dapat kembali di sini, menikmati gemericik air dari sungai Musi.

Post a Comment

0 Comments