Dari Negeri Di Atas Awan Hingga Festival Literasi Patjarmerah

Memang benar kata kebanyakan orang tentang Jogja. Jogja memiliki keindahan tiada tara yang tidak bisa diucapkan dengan kata-kata, melainkan hanya dapat dikenang lewat pikiran dan disimpan di dalam hati. Jogja lebih dari sekadar kota yang memiliki makanan khas gudeg maupun bakpia. Lebih dari itu, Jogja menyajikan berbagai macam kenangan yang sewaktu-waktu dapat kamu rekam dan di kemudian hari dapat kamu putar. Tak ada yang lebih indah dari keramaian kota Jogja yang dihiasi dengan kenangan yang terselip di berbagai sudutnya.

Barangkali aku selalu teringat dengan Aditya Sofyan yang selalu mendendangkan lagu Sesuatu Di Jogja dengan sangat merdu. Hari itu, tepat hari Jumat tanggal 1 Maret 2019 aku berencana untuk menginjakkan kakiku di kota Jogja. Sudah beberapa kali aku mengunjungi kota tersebut, namun rasa ketidakpuasan selalu  muncul di dalam hati. Setelah pergi dari kota Jogja, rasanya aku ingin kembali ke kota itu, lagi dan lagi. Seperti yang dibilang oleh Aditya Sofyan dalam lagunya:

Terbawa lagi langkahku ke sana
Mantra apa entah yang istimewa
Ku percaya selalu ada sesuatu di Jogja

Perjalanan

Sore hari dari Semarang, aku berangkat ke Jogja dengan menaiki sepeda motor. Sepanjang perjalanan, langit terlihat sangat mendung dan seakan-akan memperlihatkan bahwa dirinya sedang murung. Tak banyak yang peduli seberapa murungnya langit hingga meneteskan air mata yang begitu banyaknya--hujan. Orang-orang lebih memilih melanjutkan perjalanan atau sekadar meneduh sebentar kemudian melanjutkan perjalanan dengan memakai jas hujan. Anehnya, di saat langit sedang sedih dan meluapkan air matanya, di Bumi ini orang-orang sedang memunculkan rasa romantis mereka ke dalam bentuk puisi. Mungkin, kesedihan memang pantas untuk dirayakan, entah dengan apapun.

Perjalanan selalu mengajarkan kita berbagai banyak hal. Yang sebelumnya muram setelah perjalanan akan melebarkan senyumnya. Yang sebelumnya sedih akan timbul rasa bahagia. Yang tadinya senang akan merasa lebih senang, sebab perjalanan selalu menghadirkan kebahagiaan di dalamnya. Tidak peduli seberapa jauh langkah kakimu mengayun, di setiap langkah kaki akan terbit suatu kisah yang sewaktu-waktu dapat kamu ceritakan hingga akan memunculkan tawa bersama. Begitulah perjalanan, selalu membuat diri kita merasa terlahir kembali dalam keadaan suci.

Setelah menempuh perjalanan sekitar 3 jam lebih, akhirnya aku sampai juga di kota Jogja, yang kata orang penuh dengan kenangan. Sesampainya di Jogja, langit masih terlihat sendu. Tak apa, barangkali aku menginginkan hal seperti ini; menikmati kesenduan di kota yang penuh kenangan. 

Oh ya, biar jelas kenapa aku melakukan perjalanan ke Jogja akan aku ceritakan terlebih dahulu. Aku pergi ke Jogja untuk mengunjugi sebuah acara festival literasi dan pameran buku yang bernama patjarmerah. Patjarmerah merupakan festival literasi yang menyediakan berbagai obrolan-obrolan seru mengenai dunia digital, sastra, fotografi dan lain-lain. Selain itu, di dalam patjarmerah juga ada pameran buku dengan berbagai macam genre dan disediakan dengan harga yang sangat murah! kamu dapat mengintip lebih dalam mengenai patjarmerah melalui akun instagramnya @patjarmerah_id. Acara ini berlangsung dari tanggal 2-10 Maret 2019.

Hari pun sudah mulai memasuki malam. Aku bergegas menuju ke tempat penginapanku yang bernama Bedjo Homestay by Dasinem. Sebelumnya, aku pernah menginap di tempat ini dan sangat nyaman sekali. Aku pernah menuliskan tentang Bedjo Homestay, silakan klik di sini

Alam

Sang mentari muncul dari persembunyiannya. Jam menunjukkan pukul 04:00 WIB. Aku berencana untuk mengunjungi salah satu tempat yang menyuguhkan pemandangan pagi yang sangat indah dengan bukit-bukit serta kabut yang menyelimutinya. Ya benar, aku akan mengunjungi Kebun Buah Mangunan yang terletak di daerah Imogiri. Alam tentu selalu  menghadirkan kesejukan jiwa bagi para pengunjungnya. Tidak heran, saat ini banyak sekali orang-orang yang berbondong-bondong untuk menikmati keindahan alam dengan mengunjungi berbagai tempat yang menyediakan pemandangan alam yang indah seperti gunung dan lain-lain. Barangkali orang-orang saat ini lebih membutuhkan kesejukan jiwa daripada kebutuhan pangan dan lainnya. Entahlah, semakin ke sini orang-orang memang harus membutuhkan kesejukan jiwa agar tidak menjadi gila dengan berbicara seenaknya saja di media sosial tanpa tahu dasar logikanya.

Sesampainya di Kebun Buah Mangunan, aku sangat terkejut dengan hamparan bukit yang diselimuti oleh kabut. Di samping kiriku, mentari telah muncul dengan malu dari persembunyiannya, barangkali mentari malu terhadap banyaknya manusia yang melihatnya. Banyak orang di tempat ini sedang mencari pemandangan alam untuk sekadar foto-foto maupun berkumpul bersama. Tanpa berpikir panjang, aku pun langsung memotret keindahan alam dari Kebun Buah Mangunan.

sungai diapit oleh hamparan bukit

mentari malu-malu

ramainya orang

Rasa kangenku terhadap pemandangan alam seperti ini terpuaskan sudah. Memang, alam selalu membuat jiwa kita seperti terlahir kembali. Setiap kali bertegur sapa dengan alam, hatiku seperti berkata bahwa hal seperti inilah yang akan aku butuhkan di kemudian hari. Sebab, alam selalu terbuka bagi siapa saja yang datang dengan keadaan senang ataupun susah. 

Festival Literasi

Memasuki tengah hari, aku bersiap-siap untuk mengunjungi festival literasi dan pameran buku dari patjarmerah. Dari tempat menginapku, tempat acara patjarmerah ini cukup jauh, sekitar setengah jam. Dengan hanya bermodalkan google maps, aku bergegas untuk mengunjungi tempat kediaman patjarmerah.

Sesampainya di kediaman patjarmerah yang berada di Jl. Gedongkuning No. 118, Rejowinangun, Kotagede, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, aku tertegun dengan banyaknya orang-orang yang hadir dalam festival literasi dan pameran buku tersebut. Banyak yang beranggapan bahwa minat baca Indonesia sangat rendah, namun dengan banyaknya orang yang hadir dalam acara patjarmerah ini, apakah masih bisa dibilang bahwa minat baca orang Indonesia sangat rendah?.

Jam menunjukkan pkl 12.35. Aku sedang menunggu salah satu sesi obrolan patjarmerah mengenai Perjalanan Bumi Manusia yang akan diisi oleh pembicara-pembicara seperti Muhidin M. Dahlan atau biasa dipanggil Gus Muh yang menulis buku "Ideologi Saya Adalah Pramis", lalu ada mas Whani Darmawan sebagai seorang aktor film Bumi Manusia. Satu lagi ada seorang dari Australia yang menterjemahkan Bumi Manusia sehingga dapat dibaca oleh dunia, beliau adalah Max Lane. Perbincangan antara ketiga pembicara tersebut akan dimoderatori oleh pemiliki Indie Book Corner, yaitu Iwan Bajang.

Dokumentasi Pribadi

Dokumentasi Pribadi

Perbincangan pun berjalan dengan sangat seru. mas Whani Darmawan, aktor film Bumi Manusia yang memerankan sebagai Darsam berpendapat bahwa keberadaan film Bumi Manusia sangat penting bagi generasi milenial untuk mengetahui sang maestro yang sebenar-benarnya dari dunia sastra, yaitu bung Pramoedya Ananta Toer yang melompati ruang dan waktu. Selain itu, mas Whani berkelakar mengenai anak-anak muda yang tidak mengetahui bung Pram. Beliau mengatakan bahwa pernah melihat cuitan di twitter yang berkata,"emang siapa sih Pram? Palingan cuman penulis pemula". Dari cuitan tersebut, mas Whani tentu mengatakan bahwa sangat penting adanya film Bumi Manusia di Indonesia. Dengan adanya film tersebut, maka secara tidak langsung film tersebut akan mengenalkan sosok Pramoedya Ananta Toer dan mengenalkan Pram sebagai seorang sastrawan hebat yang karyanya diterjemahkan ke dalam puluhan bahasa.

Sementara Gus Muh menceritakan cerita panjang lebar mengenai terciptanya Lentera Dipantara di rumah kos-kosan blimbing sari UGM. Selain itu, Gus Muh menjelaskan mengenai ideologi Pramis. Maksud dari ideologi Pramis tersebut adalah bahwa seseorang melakukan perlawanan dengan caranya sendiri dan akan siap dengan pengasingan yang akan dihadapi. Gus Muh menggambarkan dua tokoh, yaitu Pram dan Minke. 

Pram dan Minke sama-sama seorang penulis kronik, Minke menulis dan mendalami ilmu pengetahuan dengan cara berkeliling Jawa dan meneruskan ke Maluku. Minke seorang sastrawan, begitu juga dengan Pram. Minke aktif di pergerakan di Sarekat Dagang Islam, Pram pun demikian menjadi pimpinan pusat 42 di Lekra dari 46 pimpinan. Minke dibuang di pulau Bacan, begitu juga Pram yang diasingkan di pulau Buru.

Terakhir, Max Lane bercerita tentang pertemuannya dengan Pram yang terjadi pada tahun 1980 an. Beliau bertemu dengan Pram dan pada akhirnya tertarik dengan karya Pram yang berjudul Bumi Manusia. Max Lane akhirnya memiliki pemikiran untuk mengenalkan Bumi Manusia kepada dunia sehingga beliau pun menterjemahkan Bumi Manusia ke dalam bahasa Inggris dan dapat dibaca oleh dunia.

Obrolan patjarmerah tersebut tentu sangat menarik, terlebih berbicara mengenai dunia sastra yang terlihat belum mencolok di bangsa Indonesia. Max Lane bahkan sempat berpendapat bahwa Indonesia merupakan satu-satunya negara yang tidak belajar kurikulum tentang Bumi Manusia. Di luar negeri, sekolah-sekolah bahkan telah mempunyai kurikulum sendiri untuk belajar mengenai Bumi Manusia. Hatiku pun sepintas bergetar. Mungkin minat baca Indonesia masih terbilang rendah walaupun festival literasi seperti ini didatangi oleh banyak orang.

Dokumentasi Pribadi


Dokumentasi Pribadi

Dokumentasi Pribadi

Setelah puas menikmati festival literasi, aku menuju ke Bedjo Homestay dengan pikiran serta kebahagiaan yang serta merta mengikutiku sepanjang jalan. Dua hari di Jogja dengan menikmati alam dan festival literasi sangatlah menyenangkan. Semoga di lain waktu akan ada acara seperti ini lagi, entah di Jogja atau di manapun.

Dari alam hingga festival literasi, dari kesejukan jiwa hingga penenangan pikiran. Entah apa itu bagi kamu,yang jelas bagiku dua hal tersebut benar-benar membuatku sangat senang. Sekian blogku kali ini, semoga ada manfaat yang dapat kamu ambil. Jika bagi kamu dirasa bermanfaat, tolong sebarkan blog ini ke orang-orang terdekatmu. Terima kasih.

Adieb Maulana
Yogyakarta, 1-3 Maret 2019
ditulis di Semarang, 6 Maret 2019.

Post a Comment

0 Comments