Usia 26 Harus Bisa Apa?

Usia hanya sekadar angka, kita tetap berada di bawah penderitaan yang sama tiap waktu; bertanya-tanya tentang kehidupan, menerka-nerka masa depan, bahkan kehilangan arah sampai tak tahu lagi ke mana akan berlabuh. Setiap orang tetap mengais penderitaannya di sela-sela pencariannya untuk menemukan bahagia. Lantas, apakah arti perayaan tetap akan menyenangkan jika setelahnya terbit perenungan yang mendalam tentang arti kehidupan? Nyanyian selamat ulang tahun dari Jamrud, tepuk tangan dari teman-teman, balon-balon lucu yang ditempel di tembok, serta kue ulang tahun yang mempunyai beragam bentuk. Apakah semua itu masih menyenangkan bagi kita?

-------

Jalan masih jauh terbentang di depan sana. Sedang aku masih terengah-engah dengan napas yang sudah mau habis. Rasanya, sedari tadi lariku sudah cukup cepat, tetapi tetap saja tidak sampai pada tujuan. 

"Ah, mungkin aku harus jalan pelan-pelan saja" ujarku dalam hati.

Sambil berjalan-jalan di jalanan yang lurus, ku dapati pemandangan sekitar banyak sekali sawah-sawah hijau beserta petani yang asyik menanam. Sesekali aku sapa mereka satu per satu dengan senang, lalu kembali menelusuri jalan. Tak jarang juga di sepanjang jalan aku menemui kendaraan yang berlalu-lalang melewati diriku. Beberapa ada yang menyapaku dan memberhentikan jalanku sembari mencari kedai kopi atau angkringan untuk sekadar bertukar cerita. Tak sedikit juga yang hanya lewat tanpa menyapaku sama sekali. 

Rasanya, sungguh menyenangkan bertukar cerita pada waktu itu. Hitung-hitung sebagai jam istirahat sebelum melanjutkan perjalananku. Orang-orang itu sangat ramah dan memberikan kesan yang baik terhadapku.

"Sudahlah, hidup hanya sekadar numpang ngopi. Lekas ngopi, setelah itu lanjut perjalanan lagi" Tukas salah satu orang yang mengajakku di angkringan.

"Ya namanya juga hidup, tiap tahun usia bertambah tetapi kadang-kadang rekening tidak ikut tambah hahaha" celetuk seseorang lagi.

Usai asyik bercengkrama satu sama lain, aku pun kembali melanjutkan perjalanan. Tidak ada lagi orang-orang lewat di perjalananku kali ini. Seolah-olah langkahku terasa hampa tak ada pemandangan sama sekali. Beberapa kali mungkin ku dapati secercah cahaya yang membuat pandanganku terasa silau. Akan tetapi, itu hanya sebentar saja. Selebihnya, hanya gelap pekat yang menyelimuti seluruh jalanku.

Sampai di sini rasanya aku sudah kehilangan arah. Ingin bertanya kepada orang sekitar, tetapi tidak ada satu pun orang yang ku temui. Lalu, apa yang harus aku lakukan? Apakah aku harus melanjutkan perjalanan ini atau kembali ke jalan yang sebelumnya? Hati pun semakin bimbang, keputusan tak kunjung juga aku dapati. Alhasil, berbekal keyakinan yang tinggi aku coba berjalan meski pekat menemaniku kali ini. 

"Ada tujuan dan harapan yang harus dapatkan. Jalan sudah jauh aku tempuh, jangan sampai keadaan ini membuat diriku menyerah" Ujar diriku menyemangati dalam hati.

-------

Perjalanan di atas menggambarkan betapa diriku semakin tersesat dari waktu ke waktu. Usia kian bertambah, tetapi semakin banyak pertanyaan yang singgah. Tak tahu bagaimana menghadapinya, hanya keyakinan yang menuntunku sampai di titik ini. Sesekali memang menengadah ke belakang untuk tahu sudah seberapa jauh aku melangkah. Akan tetapi, aku tidak bisa kembali ke masa lalu atau terhenti di situ. Masa lalu hadir untuk mengajarkan kepada kita bahwa diri ini selalu berproses dari waktu ke waktu. Tidak peduli seberapa kecil atau besar proses yang dihadapi, pada akhirnya proses itu akan membentuk diri sedemikian rupa.

Aku selalu merasa bahwa seiring bertambahnya usia, semakin menyadari kalau tidak semua pertanyaan harus dijawab sekarang. Biarkan waktu yang menentukan, selebihnya kita hanya terus berusaha. Barangkali, masih menghimpun pertanyaan-pertanyaan kehidupan yang belum sempat terpikirkan. Tidak usah risau. Sebab, kehidupan akan selalu dipenuhi dengan pertanyaan. Entah bagaimana menjawabnya, entah apakah benar atau salah. 

Di usia yang ke-26, rasanya aku tidak menyadari kalau hidupku sudah sejauh ini. Kalau melihat ke belakang, sudah banyak sekali proses yang aku lewati. Rasanya tidak adil jika aku harus menyerah sekarang. Sebab, menyerah sama saja mengkhianati diri kita sendiri. Bagaimana diri kita terus bertahan dari badai dan ombak yang selalu menerjang di perjalanan. Bagaimana diri kita menanggapi hal-hal negatif yang masuk begitu saja. Bagaimana diri kita terus berjuang meski darah dan keringat sudah menetes di tubuh. 

Kembali lagi, menoleh ke belakang seolah-olah jadi cara yang tepat untuk menghargai sebuah proses. Bukan untuk kembali, bukan untuk terus terhenti, tetapi untuk mencari sebuah arti.

Di media sosial belakangan ini viral soal usia 25 harus punya tabungan 100 juta, cicilan rumah sisa 20% lagi, punya kendaraan pribadi, lalu gaji minimal 8 juta. Bagiku, saat memasuki usia 26 setidaknya harus bisa menghargai diri sendiri dengan baik; yang sudah berjuang susah payah,  yang sudah berpeluh darah, yang sudah mau menemani di setiap perjalanan.

Materi akan selalu menghantui, namun ingat bahwa proses akan membuatmu tetap menghargai diri sendiri. Sebab, pada hakikatnya angka hanyalah sekadar angka. Usia yang bertambah tiada artinya jika kamu masih tetap tidak bisa bersyukur dan menghargai diri sendiri. 




Post a Comment

0 Comments