Aku Pengelana: Kilas Balik Dunia

2014, Bumiku yang berwarna

Tiada yang mengetahui apa yang akan terjadi puluhan tahun kedepan terhadap Bumi. Semua berjalan begitu saja. Matahari muncul di bagian Timur dengan sinarnya yang memberikan banyak harapan kepada manusia. Kicauan burung sangat merdu saling berbalas seakan merayakan indahnya alam semesta hari ini. Embun senantiasa membasahi tanah Bumi yang kering, menyegarkan jiwa bagi setiap raga yang haus akan cinta dan kasih sayang. Segerombolan manusia saling berlomba-lomba pada pagi hari untuk mengais rezeki dari berbagai jalannya sendiri. Mungkin saat ini, bagiku kemacetan di jalan raya adalah suatu anugerah dari Tuhan yang sangat indah. Kejadian tersebut akan sangat indah jika dikenang walau harus mengorbankan rasa emosi dan sabar saat ini. Di kemudian hari, kemacetan di jalan raya akan sangat dirindukan oleh para manusia. Sebab, ada dua cara bagaimana kamu mengenang suatu kejadian: mengenang karena rasa cinta dan mengenang karena rasa kesal. Semua di dunia ini tidak ada yang percuma. Setiap sudutnya selalu dapat disyukuri dengan berbagai cara;semua akan dapat dinikmati dengan caranya sendiri. Bagiku, semua berjalan dengan indah dan aku bersyukur dengan hal tersebut. Tidak ada yang mengetahui apa yang akan terjadi kedepannya terhadap Bumi. 

Jarum jam masih menunjukkan pukul enam pagi. Aku masih terbaring di atas kasur dengan rasa takut yang sangat tinggi. Bagaimana tidak, semalam aku bermimpi tentang sosok perempuan yang aku cintai. Ia tiba-tiba saja mendorongku ke dalam jurang yang memiliki kedalaman sekitar 20 meter, lalu aku terperosok masuk ke dalamnya dan tiba-tiba saja aku hilang, tersesat di sebuah tempat yang aku sendiri tidak mengenalinya. Pikiranku masih kacau akibat perlakuan sosok perempuan tersebut. Namun tidak beberapa lama kemudian ada suara yang menggema di sudut ruangan ini. Dengan samar-samar aku mendengarnya. Kurang lebih suara tersebut berkata seperti ini:

"Wahai manusia, ketahuilah bahwa tiada yang abadi di dunia ini kecuali aku dan pasukanku. Hapuskanlah rasa penderitaanmu dan bangkitlah seraya menatap dunia dengan berani. Sebab waktumu hanya sementara, sedangkan waktuku adalah selamanya".

Lalu seketika ragaku terperosok ke dalam dimensi lain yang dipenuhi dengan cahaya samar-samar dengan warna yang berbeda. Suara tadi sepintas saja masuk ke dalam otakku, namun kalimat yang ia ucapkan berbekas dalam ingatanku. Sampai aku sudah tersadar, kalimat tersebut masih menghantuiku. Ah, bodo amat. Aku tidak peduli. Lagian itu kan hanya mimpi. Bergegas aku menuju kamar mandi, membersihkan diri. Sebab, hari ini aku akan merayakan hari dengan menuju ke kampus. 

---000---

Langit pagi hari memang selalu syahdu. Udara masih belum tercemar oleh asap-asap kendaraan. Sangat sejuk dan segar untuk dihirup. Di atas sana, langit berwarna keemasan menemani perjalananku menuju kampus. Di setiap jalan, aku menemui berbagai aktifitas yang dilakukan oleh manusia: berdagang pecel, mengatur rambu-rambu lalu lintas di perempatan, bersiap-siap untuk menuju ke sekolah, dan masih banyak hal lainnya yang dilakukan oleh manusia. Tidak ada yang merayakan pagi hari dengan kesedihan. Semua menyambutnya dengan kegembiraan dan suka cita. Barangkali ada segelintir manusia yang merayakannya dengan kesedihan, namun tidak terlintas di depan penglihatanku. Pagi hari selalu mengajarkanku tentang bagaimana memulai hari dengan penuh semangat. Sebab, hampir seluruh manusia melakukan hal yang sama. Energi positif tentu akan tertular di lingkungan sekitar. Ah, pagi hari selalu memiliki ceritanya sendiri.

Untung saja, kampusku terletak di sebelah danau yang sangat luas dengan berbagai hewan yang berada di dalamnya, sehingga aku tidak akan bosan untuk duduk di samping danau sembari menikmati indahnya kebersamaan antar makhluk hidup. Di setiap jeda kelas, aku selalu melakukan ritual tersebut sembari menuliskan tentang apa saja yang aku lihat pada pagi ini. Aku selalu berpegang teguh kepada kalimatku mengenai "pagi hari selalu mempunyai ceritanya tersendiri". Oleh karena itu, aku akan menuangkannya ke dalam tulisan saat jeda kelas di sebelah danau. 

Tidak hanya danau saja yang akan memanjakan mataku ketika aku duduk disampingnya. Di depan sana gunung menjulang tinggi dengan sangat gagah dan perkasa, seolah-olah ia memanggilku untuk berkunjung kesana. Ah, alangkah indahnya hidup. Aku dapat dengan bebas menikmati keindahan ini dengan sangat khidmat. Sebelum aku menuangkan tulisanku di atas kertas putih, salah satu temanku duduk di sampingku sembari berkata kepadaku:

"Hei. tidak bosan juga ternyata kau duduk di sini" Ucapnya. Temanku bernama Ferry. Ia merupakan salah satu teman terdekatku saat ini.
"Tentu tidak bosan, Fer. Aku akan selalu disini menikmati indahnya alam yang telah tersaji."kataku.
"Ah benar juga. Hidup akan selalu berjalan, namun terkadang kita tetap diam". ujarnya dengan sok bijak.
"Bisa saja kamu, Fer" godaku.
"Memang benar. Terkadang aku merasa bahwa aku selalu diam. Sedangkan hidup terus berjalan. Aku masih disini, sedangkan dia sudah berada di Sydney" candanya  sembari mengingat perempuan yang ia suka.
"Hahaha. Sudahlah Fer, lupakan. Ohya, aku hendak menulis sesuatu disini. Kamu mau mencoba memberiku kata pembuka?" Aku selalu meminta saran dari temanku untuk soal ini.
"Hmm, apa ya. Ah aku tahu. Bumi sedang menjerit di atas kaki indah manusia" ia menambahkan kalimat dengan cepat.
"Ide yang bagus Fer. Kau keren juga" Tambahku.
"Bukan begitu, aku hanya merasa ada yang tidak beres dalam dunia ini. Aku selalu berpikir bagaimana Bumi ini akan hancur" Ferry berkata dengan sangat serius.
"Sudahlah sob, lanjutkan saja tulisanmu itu, aku akan pergi ke kantin sejenak karena lapar" Lanjut dia, lalu pergi ke kantin dengan cepat.

Pemikiran Ferry tentang Bumi benar juga. Apakah semua keindahan ini akan menemui kehancuran?Sembari berpikir tentang hal tersebut, tanganku mencoba untuk menggerakan pena di atas kertas putih. Secara perlahan-lahan, tangan ini bergerak semaunya dengan goresan aksara. Pikiranku kemana-mana sedang raga masih duduk di atas kursi di samping danau. Beberapa menit kemudian, aku sudah tenggelam dalam duniaku sendiri.

---000---

Sore hari kemacetan masih melanda di tengah jalan. Aku sendiri hendak menepi dari keramaian kota dan mencari tempat yang pas untuk menikmati senja. Kau tahu, hidup ini tentu harus seimbang. Pada awalnya pagi hari telah menghiasinya dengan semangat yang menggebu-gebu. Sedang sore ini, aku akan menghabiskan hari dengan merenungi segala hal yang telah aku lewati dengan menatap senja yang akan pergi dari semesta. Di sebuah tempat duduk di sudut kota ini, di tengah perenungan yang aku lalui bersama sang senja, aku masih kepikiran tentang tulisan yang aku buat di samping danau tadi pagi. 

Dunia ini sungguh sangat indah. Di dalamnya terdapat warna-warni yang senantiasa mewarnai pandangamu. Bumi memberikan manusia sebuah kehidupan, sebuah harapan, semua impian dan segalanya. Di dalamnya aku dapat menikmati keindahan tersebut dengan cara bersyukur tentang apa yang telah diberikan kepada Bumi. Aku tidak tahu apakah pemberian Bumi terhadap manusia akan bertahan lama. Namun saat ini aku mensyukuri apa yang ada. Aku belajar bersyukur dari banyak hal; dari seorang penjual koran yang sudah menjejakkan kakinya di pinggir jalan, dari seorang karyawan yang sedang pergi ke kantornya, dari seorang siswa SMP dan SMA yang bergegas menuju sekolahnya, dari para pedagang yang sudah membuka kedainya di pagi hari hingga larut malam. Banyak sekali hal-hal yang membuatku bersyukur mengenai kehidupan. 

Keindahan di dalam kehidupan akan terekam jelas di dalam ingatan. Saat ini, kehidupan mengajariku tentang indahnya kebersamaan di dalam naungan cakrawala Bumi. Saat ini, aku masih memiliki segudang harapan untuk kedepannya. Terhadap semesta, terhadap manusia, terhadap segalanya.

gambar dari google

Post a Comment

0 Comments