Ketika Imajinasi Tak Lagi Indah

Malam ini, aku tak menyempatkan diri ke dalam sebuah jurang imajinasi bersama para bajingan di pinggiran kota. Hampir setiap hari mereka selalu menyudutkan rasa yang tak berbalas, menyumpah serapahi segala yang bagi mereka hanya omong kosong belaka, serta sesekali mengumpat para wakil rakyat yang selalu tidur di kala rapat. Bagi mereka, tidur hanyalah ketika di dalam ruang kelas kuliah serta di kamar saja, selebihnya hanyalah omong kosong belaka. Di pinggiran kota, mereka menyenandungkan lagu-lagu pelipur lara dengan nada-nada khas dari masing-masing orang. Walau terlihat berbeda-beda nadanya, namun dari situ seolah-olah mereka menunjukkan bahwa walau berbeda nada mereka tetap satu jua--dalam irama satu lagu yang sama. Tak peduli siapa, tak peduli apa pangkatnya, sesekali orang-orang yang lewat dihadapannya diajak bersenandung bersama. Mereka tahu, hanya musik yang mampu menyembuhkan diri tatkala merasa lelah setelah beraktifitas seharian penuh. 

Aku masih saja berdiam diri dihadapan kertas kosong sembari memikirkan apa yang harus aku tuliskan untuk hari esok. Ya, aku memiliki kebiasaan untuk sebisa mungkin menyiapkan tulisan untuk bumi ini esoknya, dan esoknya lagi. Hal itu aku lakukan supaya bumi ini tak hanya memakan omong kosong, perpecahan, kemungkaran, serta kebencian saja. Bumi butuh kata-kata yang harus ia cerna agar tetap terjaga dalam kewarasannya. Tanganku baru saja hendak mengambil pena dan mulai menulis di atas kertas kosong. 

Imajinasiku kemana-mana, berterbangan ke daerah satu ke daerah lainnya. Melihat berbagai kejadian yang ada, mulai dari indahnya kebersamaan para bajingan di pinggiran kota hingga wakil rakyat yang sudah tidak merakyat. Lalu tiba-tiba saja, ada yang aneh dengan imajinasiku. Ia terlihat sangat terkejut ketika melihat di depannya ada sosok besar yang membawa borgol, kemudian imajinasiku diborgol dan dimasukkan ke dalam sebuah ruang berukuran 2x3 meter. Apa ini? Tempat apakah ini? Batin imajinasiku dalam hatinya.

Seketika itu juga pikiranku kosong. Imajinasiku terkekang dalam sebuah ruangan. Tatapan mataku entah mengarah kemana, tanganku tak bergerak sama sekali. Di atas kertas hanya masih bertuliskan kata "cinta" tanpa ada imbuhan di depannya. Ada apa ini? Mengapa tiba-tiba saja imajinasiku menuju ke dalam sebuah ruangan gelap tanpa cahaya sedikit pun. Ah, aku benci sekali dengan keadaan ini. Seketika itu juga, kurobek-robek kertas yang ada di depanku, kemudian aku buang di tong sampah. Tak ada tulisan untuk hari ini. Tak ada kata-kata untuk bumi cerna hari ini.

Aku pun berjalan mengitari kota dengan perasaan yang tak karuan. Meniti langkah demi langkah dengan tatapan kosong akibat tak menciptakan sebuah tulisan pada hari ini. Pikirku, sebagai hiburan di kala imajinasi yang terkekang di dalam ruangan gelap, aku hendak mengunjungi para bajingan yang di pinggiran kota sembari menyanyikan lagu-lagu dengan penuh kedamaian. Sesaat setelah hendak sampai di pinggiran kota, tak kulihat sama sekali para bajingan  yang biasanya bernyanyi bersuka ria di pinggiran kota. Aku telusuri lebih dalam, barangkali para bajingan berpindah ke tempat lain demi menciptakan suasana baru, nyatanya tak kutemukan sama sekali. Hingga tak kusangka, aku melihat selembaran kertas yang bertengger di ranting pohon di pojok sana. Aku coba membacanya dan seketika aku terhuyung lemas.

"Kau pikir wakil rakyat hanya tidur saat rapat? tidak. kami sedang memikirkan bagaimana bangsa ini maju dengan baik. Anda jangan semena-mena menuduh kami seperti itu. Ada baiknya anda harus memperhatikan apa yang anda tuliskan di lirik lagu yang anda nyanyikan. Mulai saat ini imajinasi anda akan kami kekang, dan ucapkan selamat tinggal kepada ruang pinggiran kota".

Dan aku sempat mengerti, mengapa di sebuah kedai kopi tadi imajinasiku terkekang di sebuah ruangan 2x3 meter.

#TolakRUUPermusikan





Post a Comment

0 Comments