Di Suatu Tempat Saat Bintang Meredup.

Kabut telah sengaja menutupi sebagian penglihatanku sedari tadi. Sementara aku terus berjalan menelusuri pekatnya malam tanpa ada gemerlap bintang yang menerangi jalanku. Tapak demi tapak telah aku lalui, pendakian gunung selalu menyajikan hal-hal baru yang tak aku sangka-sangka. Setiap langkah menghadirkan beribu pengalaman dan kenangan yang siap untuk disimpan dalam memori ingatan. Barangkali di setiap pendakian tak pernah ada cerita yang ingin dituntaskan, segala cerita selalu berkepanjangan seiring menjalani kehidupan. Senja sedari tadi telah larut bersama ganasnya cakrawala, siluetnya tak nampak sedikit saja, aku tak tahu tentang itu. Mungkin saja, senja selalu pergi agar ia dicari oleh seluruh pengagumnya. Apa kau tak setuju? bukankah setiap hari senja memang begitu, sengaja pergi agar ia dicari?. Mataku terpaku oleh jalanan yang ingin ku lalui di  depan, aku takut jikalau salah langkah, bisa saja aku kehilangan arah dan terjebak bersama halusinasi semesta yang membuatku buta. Peneranganku hanya sebatas senter dan sesekali sinar rembulan yang menelusup masuk ke dalam hutan-hutan, selebihnya aku mengutamakan insting malam hariku. Kau tahu, gunung tak melulu soal ketakutan di tiap pandangan mata, ia terlihat lembut dan manis jika kita berhasil menyatu dengan iringan melodinya. Malam hari pun, gunung nampak bersahabat, semesta nampak lekat. Kita hanya takut akan hal yang belum pernah kita lalui, sama halnya seperti seseorang yang belum pernah mencoba. Ku langkahkan kaki demi kaki, pemandangan di bawah sana begitu menyegarkan pandangan mata--rentetan lampu kota, pendarnya menyilaukan mata. Aku takjub, barangkali aku masuk ke dalam dimensiku sendiri. Setelah itu, aku beristirahat sejenak sembari ditemani oleh pemandangan kota yang indah dan juga angin yang berhembus lumayan kencang. Sayangnya, tak ada bintang di langit sana, barangkali mereka sedang berperang memperebutkan kekuasaan.

Di bawah cakrawala langit malam dan di atas pendarnya cahaya kota yang temaram, diriku berdamai dengan suasana sekitar, seolah-olah menyatu dengan nyanyian semesta. Entah apa  yang aku rasakan, jika boleh aku katakan, saat itu aku sedang belajar berdamai dengan diri sendiri, dengan dibantu oleh semesta. Menikmati setiap alunan angin yang berhembus, hembusan tersebut seolah-olah mengeluarkan alunan musik kesukaanmu. Tanpa kamu minta, semesta tahu apa yang kamu inginkan. Hingga perlahan, ragamu lebur bersama nyanyian semesta, lebih dalam lagi, lebih dalam lagi, lalu tak terasa kau sedang belajar  berdamai dengan diri sendiri--bayangan hitam lenyap, ragamu senyap.

Kini, kau tak perlu cemas dengan segala hal yang membuat pikiranmu terkuras. Hilangkan saja, berdamailah dengan dirimu terlebih dahulu--entah dengan cara apapun. Jika sudah, maka selesaikan perpecahan yang terjadi di luar sana, tak perlu berlama-lama, karena ragamu telah berdamai, rasanya sudah pasti tak perlu repot-repot untuk menyelesaikan masalah yang ada di sekitar. Yang salah dari kebanyakan orang sekarang adalah, mereka lupa bahwa masih ada perpecahan yang terjadi dalam tubuh mereka, sehingga saat mereka sedang ingin menyelesaikan masalah di luar sana, justru yang ada bukan masalahnya yang terselesaikan, melainkan perpecahan yang terjadi di dalam tubuhnya menjadi berkepanjangan. Selanjutnya, maka permasalahan yang ingin ia selesaikan akan menjadi runyam, ia pun akan menjadi lebih suram. Dampak yang terjadi bukan hanya untuk dirinya saja, melainkan untuk orang-orang di sekitarnya. Salah sedikit berkata di media sosial akibat belum berdamai dengan dirinya sendiri, hujatan demi hujatan pasti sudah siap untuk di lemparkan. Yang terjadi, perpecahan bukan hanya terjadi di dalam dirinya saja, melainkan di seluruh nusantara. Betapa mirisnya kejadian ini sering terulang berkali-kali di negara Indonesia. Perpecahan dimana-mana, persatuan sudah langka. Indonesia lama kelamaan akan hancur persatuannya kalau begini jadinya. Hanya karena engkau belum bisa berdamai dengan dirimu sendiri, bukan berarti engkau melampiaskannya ke semua orang yang ada di sekitarmu. Menyendirilah terlebih dahulu, rasakan apa perpecahan yang sedang terjadi di dalam dirimu. Rasakan, rasakan, dan selesaikan perpecahan tersebut. 

Berdamailah dengan dirimu sendiri terlebih dahulu, barangkali masih ada peperangan di dalam sana.

Bintang-bintang di langit belum juga menampakkan dirinya. Sudah lama aku ingin melihatnya dari gunung, melihat sirius mungkin,  atau canopus mungkin, atau rigel sekalipun. Aku tak terlalu paham akan bintang, namun aku ingin sekali mendalaminya satu per satu. Aku tak ingin kehilangan terangnya bintang saat senyumanmu sedang memudar, atau mungkin saja terang senyumanmu sudah pindah kepada bintang-bintang. Entahlah. Mataku menyapu sekitar, di atas masih ada jalur tinggi yang harus aku daki sebelum aku mendirikan tenda di sana. Ku mantapkan lagi langkah kakiku, mengayun bersama alunan angin, hingga tak terasa, sedikit demi sedikit diriku merasa damai--entah sesaat atau selamanya, aku tak peduli. Manusia selalu berusaha untuk berdamai dengan dirinya sendiri, percayalah padaku. 

Di atas sini, segala hal yang mencemaskan tak tampak. Hilang bersama kabut. Mengapung entah pada galaksi mana, lalu aku tak peduli keberadaannya. Hingga tak sadar, kecemasan selalu saja menjadi awal dari penghalang kebahagiaan. Kamu tak percaya? Marilah duduk bersamaku di atas sini, menikmati indahnya pemandangan di sekitar alam. Matahari terbit, kicauan burung, rerumputan syahdu, irama semesta, seduhan kopi, selalu belum sempurna tanpa adanya senyuman manismu.


Semarang, 11 April 2018
Adibio




Post a Comment

0 Comments