Waktu Hanya Ilusi

“Jejak-jejak bergemuruh kala datangnya malaikat pencatat kebaikan dan keburukan. Dihindarinya segala hal yang fana, lalu masuk ke dalam waktu yang nyata. Ah, betapa naïf nya dirimu menganggap waktu adalah nyata”. Tukas sang cakrawala jingga. Sembari disapunya langit-langit dari gelap gulita yang hendak menguasainya, cakrawala jingga rela bertuah sejenak kepadaku menjelang datangnya tahun baru. Katanya, agar tahun baruku berbeda dengan yang lainnya. Ah, bisa saja kamu cakrawala jingga, ada atau tanpanya petuahmu itu tahun baruku akan sama seperti yang lainnya ; berubah dari 17 menjadi 18. Tak mungkin ada yang langsung beranjak pada 19, kecuali ia memiliki doraemon.

Memang, semenjak perdebatanku dengan bintang Vega mengenai waktu, aku selalu beranggapan bahwa waktu itu adalah nyata. Entah, atas dasar apa aku berucap seperti itu pada bintang Vega, padahal Uskup Berkeley berpendapat bahwa waktu hanyalah ilusi. Mungkin saja, petuah cakrawala jingga sedikit menyinggungku soal opini yang sembrono mengenai waktu yang nyata. Setelah gema suara dari cakrawala jingga menghilang ditelan oleh pekatnya malam, aku mulai berpikir ulang mengenai perdebatanku  dengan bintang Vega.

Masih teringat tentunya, awal 2017 lalu aku memulainya dengan petualangan, yakni pendakian gunung andong. Dan sekarang, saat aku mengetikkan tulisan ini aku menyadari  bahwa sepertinya baru minggu kemarin atau bulan kemarin aku memulai tahun 2017. Seperti :

“Lah perasaan baru kemarin dah 2017 mulai”

Waktu memang ilusi, yang nyata hanyalah penyesalan-penyesalan yang kau buat sendiri melalui rayuan sang waktu. Ah, betapa bodohnya hidup di bawah rayuan sang waktu. Ketimbang rayuan sang waktu, aku lebih memilih merayu sang ratu, begitu ujar kata hatiku yang tak sempat merayumu kala itu—saat waktu sengaja mengulur-ngulur perpisahan atau mempercepat pertemuan.

Lantas, setiap jejak-jejak yang tertinggal di 2017 akan menjadi debu-debu yang berterbangan di luar angkasa, menyatu dengan bintang-bintang atau galaksi sekali pun. Jejak langkahku tak pernah terekam secara baik oleh ingatanku, terkadang ada yang terlepas begitu saja sebab waktu yang tak pernah mengerti aku. Cih, memang waktu tak pernah mengerti keadaanku, ia egois, sama seperti dirimu kala meninggalkanku.

Hari demi hari berlalu, bulan demi bulan berlalu. Aku tetap saja mengarungi lautan yang sama. Berputar-putar mencari kehidupan di luasnya lautan. Entah pulau seperti apa yang akan aku diami. Apakah akan ada penduduk sekitar yang akan mengeksekusiku seperti dalam film Pirates Of The Carribean? atau akan ada banyak pohon kelapa yang bisa diminum air kelapanya sembari menikmati pulau tersebut? Entahlah, aku hanya terus berputar-putar mengarungi lautan, sembari belajar bagaimana menjadi seorang pelaut yang handal. Mungkin saja, suatu saat aku akan menjadi bajak laut sekaliber Jack Sparrow. Sang penipu ulung, pengadu domba yang handal.

Tunggu sejenak, suara kembang api di luar rumah mengingatkanku pada hari lebaran. Apakah besok akan ada hari raya part 2? Tidak. Kembang api itu tanda datangnya tahun baru, yang jika dihitung dari saat aku menuliskan ini tinggal 16 menit lagi. Ah ternyata tahun sudah akan berubah menjadi 2018, waktu memang ilusi, dasar!. Aku tak bisa apa-apa saat ditawan olehnya. Harusnya, aku harus melakukan sesuatu saat ditawan, Pram saja dapat menuliskan buku-bukunya di pulau buru.

Dengarkan aku kekasih, akhir tahun tak melulu tentang perayaan. Barangkali kamu butuh kesunyian, datanglah kepadaku. Akan aku ceritakan bagaimana mentari hendak menyapa tahun baru esok hari. Mungkin, embun-embun nan mungil akan senantiasa melingkupi dataran tinggi, atau mungkin kabut lembut menyapu merbabu dan merapi yang sedang bermesraan. Kau akan tahu, kekasih, saat kita bertemu di dalam mimpi akan aku ceritakan itu semua—keindahan mentari menyambut tahun baru.

Cakrawala jingga sedari tadi memang sudah terlelap dalam tidurnya. Katanya, tidak penting merayakan malam tahun baru, lebih baik ia membaca Lelucon Para Koruptor karya Agus Noor, agar nanti saat ia menyambut tahun baru, ia akan menyambutnya dengan penuh tawa. Dan aku, masih saja teringat tentang petuah cakrawala jingga tadi, pikiranku tak bisa lepas olehnya. Bahkan, lagu-lagu Fourtwnty yang biasanya menenangkanku kali ini gagal melakukan tugasnya.

Entahlah, aku hanya sedang ingin mempersiapkan pacul, untuk menggali lubuk hatimu saat engkau tertidur, kekasih. Seperti kata Sujiwo Tejo.


Semarang, 31 Desember 2017.


Post a Comment

0 Comments