Ketakutan dan Keberanian

2007, tepat sepuluh tahun yang lalu aku mulai memahami arti dari kata merantau. Aku mulai meraba-raba tentang arti dari kata tersebut. Hanya dari KBBI aku mengerti arti kata merantau. Dalam KBBI merantau adalah : v berlayar (mencari penghidupan) di sepanjang rantau (dari satu  sungai ke sungai lain dan sebagainya). Begitu sekiranya arti dari merantau dalam KBBI. Namun kali ini aku akan mencari arti kata merantau lewat kamus hatiku sendiri. Tahun 2007 menjadikan tahun pertamaku memaknai arti dari merantau dalam kehidupanku.

Juli, 2007. Diriku di ambang sebuah kebimbangan antara kesenangan dan ketakutan. Kesenangan karena akan menemukan hidup baru, teman-teman baru, dan juga suasana baru. Pondok Pesantren Husnul Khotimah  adalah tempat pesantren yang menjadi tempat rantauanku. Terlebih tempat rantauanku berada di Kuningan, Jawa Barat, tepat terletak di kaki gunung Ciremai, tentu cuacanya pun akan berbeda jauh dengan tempatku tinggal, yaitu Semarang. Tentu aku akan senang sekali menyambut perbedaan yang sangat signifikan terjadi dalam hidupku untuk beberapa tahun ke depan, atau kurang lebih 6 tahun. Namun dibalik itu, tercipta juga rasa takut yang muncul dalam diriku, entah semenjak kapan rasa itu muncul saat rasa senangku telah aku tanam, aku tidak mengerti. Yang jelas, rasa takut itu tiba-tiba saja ada, merenggut sejenak kesenanganku. Takut jika aku tidak akan betah akan semua ini, takut jika teman-temanku tidak menyenangkan, juga takut akan di tinggal jauh oleh orang tuaku. Kesenangan dan ketakutan sejenak merajai seluruh diriku kala itu, kala ibuku membantu membereskan barang-barangku, dan dengan bergulirnya waktu, tentu ibuku akan pergi meninggalkanku sendiri disini, di tempat yang sama sekali belum aku ketahui. Tak apa, laki-laki setidaknya harus berani dalam menepis segala rasa takut yang tumbuh di dalam dirinya. Saat tanganku menggengggam erat tangan ibuku, lalu tangan ibuku melambai-lambai sembari  mengucapkan selamat tinggal, serta mobil yang membawanya berjalan menjauh dariku, saat itu juga segala rasa takut kutepis begitu keras masuk dalam diriku. Keberanian adalah modal utamaku kala itu. Tentu saja.

Setelah segala rasa nyamanku pergi—ibu dan  semua yang pergi mengantarkanku, aku mulai menciptakan zona nyamanku kembali. Berkenalan dengan teman-teman baruku satu kamar, berbincang-bincang mengenai hal-hal yang dilakukan oleh orang yang baru saja kenal.

“hai, kamu dari mana?”

“kamu namanya siapa?”

“tempat tidurmu di mana?”

Mungkin percakapan pendek saja yang tercipta kala itu. Oh iya, aku tinggal  sekamar bersama 26 temanku, juga 2 pemandu kamarku, yaitu kakak kelas yang biasa dipanggil musyrif. Ya, alangkah beruntungnya aku tinggal bersama orang banyak di dalam satu kamar, terlebih letak ranjangnya pun sangat unik, yaitu ada tingkatnya. Tidak butuh waktu lama aku untuk mengenal lebih dalam kepada teman-teman sekamarku, karena kebetulan kami tinggal sekamar, tentu intensifitas percakapan akan terjadi sesering mungkin. Dari percakapan pendek yang hanya tercipta, lalu cerita-cerita panjang yang memunculkan tawa.

“eh, aku mau dong digambarin gajah ditangaku”

“ah masa gak berani sih ke kamar mandi sendiri”

“ayo makan bareng  ke dapur, sekalian beli jajan di koperasi”

“kerjain si itu yuk, ini ada kapur barus bilang aja permen mentos hahaha”

Dan percakapan lainnya yang mungkin masih terngiang dalam diriku saat ini, saat menuliskan segala kenanganku  di  dalam sana—kota kenangan bernama Kuningan.

Hari demi hari berlalu, nampaknya ketakutanku  sudah hilang di telan oleh rasa  keberanianku. Lingkungan di  sekitar sini membuatku  merasa nyaman dan aman. Setiap hari kami bersama-sama, dari bangun tidur hingga  tidur lagi. Mulai menjalankan aktifitas di  pagi  hari,  bangun  untuk menunaikan sholat shubuh berjamaah di Masjid Al-Husna 1. Lalu setelah itu  kami makan bersama, dalam satu nampan. Dengan aktifitas makan bersama itu, kami berhasil menumbuhkan benih-benih kebersamaan yang  melekat di  dalam hati  dan mengalir  dalam urat nadi. Berbagai canda dan tawa selalu  menghiasi pagi kami. Sebelum bergegas mandi, biasanya kami mandi dengan budaya  antri. Sembari  mengantri pula, kami  masih dapat menciptakan  canda dan  tawa. Ah alangkah manisnya kehidupan santri ku kala itu—tempat rantauanku. Setelah itu, kami menuju ke kelas masing-masing untuk mencari ilmu. Terlebih hal-hal konyol lain yang selalu berhasil kami ciptakan, tentu akan menjadi suatu kenangan terindah saat semua tak lagi bersama dalam satu atap—terbang pada ruas-ruas cakrawala, lalu menaburkan benih-benih rasa rindu.

2007 tampaknya menjadi saksi yang penuh arti dalam kehidupanku. Saksi saat aku bisa memaknai arti kata rantau lebih dari yang tertera dalam KBBI. Setelah hampir 6 tahun aku merantau di Kuningan, Jawa Barat, semesta memberikanku arti rantau lebih dari satu definisi. Entah ribuan, atau bahkan  miliran definisi yang tertanam dalam hati saat diriku berhasil melepaskan rasa takutku kala itu.  Tapi, aku ingin menuliskan satu definisi rantau yang menurutku sangat indah pada detik ini.

Bepergianlah
Jejak langkah kan selalu terarah
Setiap yang menampung lelah dan bertemu orang-orang ramah
Disitulah tempat bernama rumah

Lepas dari itu, merantau bagiku berbicara tentang menciptakan jarak dan juga rindu. Terbukti, saat aku jauh dari ibuku, rasa rinduku terus menggebu-gebu di dalam hatiku. Berbagai macam rasa kala itu berhasil membuat diriku memaknai arti kehidupan yang sebenarnya. Tidak heran jika setelah tahun 2007 aku berhasil membungkam rasa takutku sendiri. 2008,2009 hingga 2013 aku bersemayam dalam sebuah tempat yang bagiku indah sekali. Bertapa dalam ketenangan yang abadi, melukiskan senyum di tiap hari—tanpa melukis awan di malam hari. 6 tahun sudah aku merantau dalam genggaman ukhuwah, kebersamaan yang senantiasa menularkan energi positif hingga sekarang. 10 tahun sudah aku melukis sebuah rasa ke dalam kanvas kosong, merangkai cerita dalam senang. Aku sungguh beruntung pernah merantau ke tempat tersebut. Kuningan selalu  jadi  kota  penuh kenangan bagiku. Jikalau suatu hari ragaku sudah tak lagi kuat untuk menuliskan kalimat-kalimat tentang Kuningan, maka isi kepalaku akan terus merangkai cerita menjadi sebuah pelangi  yang selalu menghiasi hari-hari. Malamku tak akan lagi sepi, langit  mengantuk tak akan membiarkan dirinya terlelap dalam kejamnya nada elegi. Diriku tetap akan merangkai kalimat tentang Kuningan sampai nanti tak ada lagi hal yang bisa diceritakan terkait kota tersebut—barangkali itu sangat mustahil. 

Lekas saja, kubaringkan diriku di  atas sabana hijau. Memandang langit dengan sendu, mencoba menangkap kata-kata yang berkeliaran di malam hari. Tepat saat kutangkap kata-kata itu, kutemukan Kuningan sebagai  tempat rantauanku yang telah kutuangkan aksara-aksara ke dalam secarik kertas.

Adibio
Semarang, 31 Oktober 2017
 Untuk Kuningan yang penuh kenangan

Foto diambil saat selesai PPM (Praktek Pengabdian Masyakarat)

Post a Comment

0 Comments