Kehilangan

Desiran angin menabik kepada zat serotonin, membuncahkan hasrat ku untuk menuangkan kopi pada cangkir  ku yang belum terisi. Tak ada kopi malam ini, tak ada aksara malam ini. Biar mereka bersemayam di tempat tak berpenghuni, menari-nari dan bernyanyi, tanpa  ada satupun nada elegi. 

Sungguh kejam, membiarkan seseorang tenggelam dalam kelamnya malam. tanpa diterangi sedikitpun dengan lampu bohlam. Suram. Sangat mencekam

Ku putar saja musik dari Fourtwnty yang selalu menggema ke dalam telinga. Tak ada yang lebih syahdu  dari menelik aksara yang berdatangan tanpa permisi sembari memutar lagu yang kau sukai. Entah berapa malam Ramadhan yang telah kulewati tanpa menulis, tanpa menorehkan kesunyian di dalam keabadian. Aksara selalu asyik berpesta, ia tak pernah menduga bahwa aku sungguh sangat memerlukannya. Sial. Baiklah, mari sejenak berpaling dari konflik kata-kata, hal itu selalu terjadi kala tangan ku mencoba menggapai keyboard pada laptopku, lagi pula aku tak terlalu peduli akan hal itu, toh itu bisa jadi pembuka bagi paragraf-paragraf yang akan aku rangkai--menyerupai serpihan hati yang telah hancur, menyusunnya menjadi sebuah anak tangga, lantas berjalan di atas tangga tersebut.

Jadi, bagaimana kabar hati yang selalu saja tergores sepi? apakah selalu baik-baik saja di pojok gua yang tak sedikitpun cahaya singgah kedalam sana? Aku harap begitu. Tak usah ragu, berdiam dirilah dulu disitu, menyublim segala kenangan masa lalu. Memang, pada bulan Ramadhan hanya mengekang setan saja, bukan juga mengekang segala canda tawa yang telah kau lalui bersamanya. Resapilah segala hal tersebut, kehilangan bukanlah sesuatu yang harus engkau ratap, melainkan harus engkau tatap. Resapilah, pahamilah. Kelak kau akan menemukan makna dibalik semua kehilangan. Bulan Ramadhan telah sampai pada ujungnya, kelak ia akan menertawai mu kala dirimu masih saja terbelenggu oleh godaan setan, juga tentang ratapan bayangan kenang-kenangan. 

Terus melaju, jangan sisipkan ragu. Bahkan yang katanya kemarin engkau ingin mengajaknya buka bersama, itu hanya sekadar angan tanpa pelaksanaan. Ia rindu, namun malu. Dan kamu malu, tapi rindu. 

Lebih baik, merelakan kehilangan tanpa harus menyalahkan keadaan. Sudahlah, jangan jadi korban keadaan. Lekas susun retakan-retakan akibat kehilangan, merangkainya menjadi sebuah jawaban. Jawaban tentang sebuah kepastian--Tentang kabut yang selalu saja menutupi pandangan, padahal menampakkan keindahan. Malam Ramadhan telah mendekati akhir, sadarilah realita yang baru saja lahir, kau akan tertimpa oleh kehilangan lagi, dan lagi. Kehilangan tak pernah lepas dari kehidupan, tahap demi  tahap manusia  selalu terbayang-bayang olehnya. Perasaan selalu lebih dulu bersikap soal kehilangan, sehingga kadang kita terus melantunkan nada-nada elegi berkepanjangan. Berbiasalah. Kelak, kau akan menyadari bahwa tak selalu yang berkilau itu indah~ (Nyanyi  Souljah dulu bosque). Kelak kau akan menyadari, bahwa kehilangan tak selalu menuntun perasaan.

Nyatanya, kau dan dia tak pernah lagi saling bertatapan lebih lama dari biasanya. Mengucapkan kata lebih banyak dari biasanya, juga bersenda gurau lebih lepas dari biasanya. Biasanya=Dulu

Masih melantun lagu-lagu Fourtwnty sedari tadi. Kali ini Hitam Putih yang berputar saat aku hampir mengakhiri tulisan ini.

Bagai langit dan bumi yang tak pernah sealam
Bagai hitam dan putih yang tak pernah sewarna
Hanya kita yang merasakannya
Belajar melepaskan dirinya
Walau setengahku bersamanya
Kuyakin kita kan terbiasa
Walau inti jiwa tak terima.

Kehilangan selalu saja mengajarkan kita bahwa kehidupan bukan hanya tentang berjalan tanpa harus berdiam diri sejenak.

Kehilangan menyadarkan kita bahwa kehidupan begitu seimbang. Tak perlu menyalahkan kehilangan, sebab dengan begitu engkau telah menyalahi kehidupan.

Terinspirasi dari anak kucing di rumah yang kehilangan dua saudaranya, juga ibunya.
Semarang, 20 Juni 2017
Adibio



Post a Comment

0 Comments