Hari Kedamaian, Tanpa Perpecahan.

Pagi datang menerpa bumi. Semesta tersenyum merekah bak bunga mawar nan indah. Cahaya mentari menyinari  alam semesta—itu sebabnya semesta tersenyum ranum. Embun pagi tak begitu menampakkan diri, entah, mungkin ia sedang konflik dengan sang pagi—tak pernah kusangka, kini  pagi sedang menerka-nerka tentang embun pagi yang tak kunjung peka. Tentu saja, pagi itu semua berlomba-lomba untuk membuat sang semesta bahagia, mulai dari cahaya matahari yang bersinar menerangi bumi, udara pagi  yang terasa sangat damai, juga bayang senyum dari gadis yang berbekas dalam mimpi. Ah, lagi-lagi tak bisa kuhindari—senyuman manis selalu hadir dalam tulisan. Dari dekat rumahku,  terurai nada-nada kedamaian yang  menyimpan berbagai kesejukan  datang dari masjid. Di dalam rumahku, tampak  hadir senyum bahagia—merayakan sebuah hari yang begitu indah. Di dalam hatiku, tentu saja, sebuah zat  yang begitu sejuk  mengalun ke dalam nadi-nadi, mengantarkannya ke seluruh bagian tubuhku—tak ada yang kurang, juga tak lebih.  Saat nada-nada kedamaian tersebut kembali  mengalun masuk ke dalam sukmaku.

Allahu Akbar
Allahu Akbar

Allahu Akbar

La ilahaillallahuwallahu akbar

Allahu Akbar
Walillahil ham


Tak kunjung surut, suara tersebut semakin membuatku larut. Ah, barangkali  ini yang dinamakan sebuah kedamaian dalam  keramaian. Tak perlu penjelasan panjang lebar mengenai hati ku yang sejuk kala itu. Rasakanlah, resapilah. Kau akan menemukan dunia mu sendiri, di dalam dirimu. Sekarang merupakan hari dimana seluruh umat muslim di seluruh dunia merayakan idul fitri, hari yang begitu suci, setelah sebulan penuh menahan lapar dan penyakit-penyakit hati. Tak terasa memang, bagaimana waktu mempermainkan kita di dalam lingkarannya, waktu selalu menghukum kita di dalam permainannya, tak peduli kita menang atau tidak—Saat senang, kita selalu lupa waktu. Begitu juga saat sedih. Sebulan berlalu dengan kita berperang melawan hawa nafsu, sebulan berlalu dengan kita yang selalu saja dipenuhi harapan-harapan semu. Ah sudahlah, aku tak mau  membawa dirimu dalam tulisanku kali ini—biarkan aku merayakan kesenangan dengan ketenangan. Namun, apakah kita pantas menyandang gelar pemenang saat ini? Saat sebulan kita berperang melawan hawa nafsu? Apakah kita berhak merayakan hari kemenangan? Pertanyaan-pertanyaan itu muncul beriringan dengan suara takbiran yang sedari tadi mengantarkan kedamaian.

Lebaran, selalu menjadi tempat pertemuan keluarga besar. Di setiap lebaran, lembaran uang selalu menjadi pusat perhatian. Dan di setiap lebaran, lembaran kisah baru selalu engkau nantikan. Itulah, mengapa banyak sekali orang-orang meng update status di media sosial yang intinya “Pertanyaan kapan nikah selalu menjadi hal yang seram”. Memang, bayangan kita selalu menjadi hal yang terindah, imajinasi masih menjadi anugerah  terindah yang diberikan Tuhan.

Kau yang sibuk berembuk dengan istrimu, tentang mudik ke kampung halaman siapa dulu hari pertama? Ke kampung aku dulu ya? Oh tidak, ke kampung aku dulu saja nanti disana kita bakal dapat opor ayam yang banyak. Hingga pada akhirnya, perdebatan itu menjadi lebar—hingga pada suatu saat nanti akan teringat dan menciptakan tawa yang lebar. Setelah memutuskan ke kampung halaman siapa dulu akan mudik, lalu berkunjung menyalami satu per satu sanak saudara dari mereka, menyiapkan uang THR bagi keponakan-keponakannya, lalu di akhiri pada obrolan-obrolan hangat, ditemani  dengan sajian-sajian makanan lebaran. Di selipi dengan candaan dengan mertua, membuat suasana begitu indah. Tak teringat, bahwa sedari tadi kamu sempat berdebat dengan istrimu tentang kampung halaman siapa. Semua itu sudah terbakar dengan sendirinya, dengan suasana hangat pagi pada hari lebaran.

Sudah, kuhentikan dulu imajinasiku.

Berkumpul dengan keluarga besar merupakan sebuah momen yang patut di hargai pada saat lebaran. Entah bagaimana denganmu menghargai momen itu. Aku cukup berdiam diri mendengarkan obrolan-obrolan orang-orang yang lebih berpengalaman, bercerita tentang masa mudanya, dan sesekali  aku memberikan respon tentang obrolan-obrolan tersebut. Mengambil pelajaran dan pengalaman dari orang-orang berpengalaman merupakan salah satu momen terindah pada saat lebaran. Semakin dekat, kau tak perlu merasa pekat sedang menyelimuti suasana hangat. Bersantailah, Bergembiralah.

Barangkali, keluarga merupakan tempat pertama kita mengenal  kata-kata, sehingga kita bisa merangkainya dan menceritakannya kepada semesta.

Barangkali, keluarga merupakan tempat pertama kita merasakan kasih sayang terhadap  sesama, cinta terhadap lawan jenis—ibu, dan mengenal tentang arti kehidupan

Tentu saja, kita sebagai makhluk  sosial tak serta merta hanya bersosial kepada keluarga kita saja. Dalam hari yang penuh kedamaian ini, momen silaturrahim atau yang biasa kita kenal dengan berkunjung ke rumah-rumah tentangga merupakan momen yang patut di hargai juga. Semakin kita banyak berkunjung, semakin kita akan banyak mendapatkan uang, eh maksud ku mendapatkan doa-doa yang baik. Tanpa perpecahan, seakan  kita menyatu dalam lingkaran yang sengaja dibuat oleh Tuhan untuk kita manfaatkan--Kedamaian yang selalu diidam-idamkan oleh seluruh kalangan manusia. Kita tak pernah tahu kapan kita akan mengenal satu sama lain sebelum kita memulainya. Seperti peribahasa yang  selalu mengatakan “Tak kenal, maka tak sayang”. 

Barangkali, pada hari itu tak mempedulikan tentang hal-hal yang selalu membuat perpecahan. Semua sirna sekejap bersama gelap.

Barangkali, kesulitan kita dapat di tutupi oleh orang-orang di sekeliling kita

Semesta terlihat bahagia kala itu. Ia bahagia karena melihat hari yang diselimuti oleh kesejukan hati. Bahagia kedamaian serta merta berjalan tanpa diikuti oleh perpecahan. Semesta tenang, ia dapat tersenyum dengan lebar kala itu. Di malam hari menuju dini hari yang penuh bahagia, kuputar saja lagu Dialog Dini hari-Hiduplah Hari ini.

Tuhan beri kita suara
Maka bernyanyilah

Senyum di fajar bahagia di senja

Maka bergembiralah


Ditulis setelah berkumpul bersama keluarga besar dengan suasana yang berbeda pada tahun-tahun sebelumnya
Semarang, 29 Juni 2017 00:19
Adibio



Iya, gue nya burem



Post a Comment

0 Comments