Sebuah Kisah di Pasar Bubrah Part 1

Malam ini aku putuskan untuk menyeduh kopi di antara angin pasar bubrah Merapi yang kian dingin. Menikmati secangkir kopi sambil menatap gagahnya puncak garuda dari sang Merapi adalah salah satu impianku yang sedang terwujud malam ini. Dahulu, puncak garuda hanya terngiang dalam ingatanku selepas melihatnya lewat foto-foto yang bersebaran di sosial media. Kini, mataku tak perlu dibatasi oleh layar handphone untuk menatap puncak garuda tersebut. Pikiranku mulai mengumpulkan aksara yang berceceran di pasar bubrah, hatiku cukup merekah. Ku taruh secangkir kopiku di sebelahku, lalu aku ambil secarik kertas dan pena. Jam masih menunjukkan pukul 20:00, langit di atas sana terlihat cerah dari pasar bubrah. Gemintang menunjukkan parasnya yang sejuk, cakrawala malam mengaduk zat kerinduan serta kenangan secara bersamaan. Dia tahu bahwa suatu saat nanti aku akan mengenang momen ini, duduk di pasar bubrah sembari menyusun aksara. Kau tahu, bahwa aku suka tempat ini. Dinginnya, kumpulan batu-batunya, serta hamparan awan yang memanjakan mata membuatku tak segan untuk mengabadikannya lewat tulisan.

Bebatuan tak menghalangi pandangan
Pasar Bubrah memelukku erat tanpa syarat
Aku menyaksikan puncak garuda 
Secara bersamaan aku melihat seonggok senyuman
Entah milik siapa
Kabut menggiring imajiku 

Merelakan kenangan bukan pekerjaanku
Hanya saja kian menggerutu
Hatiku tertambat di antara pasir Merapi
Hamparan rumput hijau tak ada
Hamparan pasir tak kalah mempesona

Apakah kau akan mendekapku di antara kabut Merapi?
Digiringnya aku ke dalam dimensinya
Aku susah untuk berkata-kata
Terbata-bata langkahku menapaki pasir Merapi
Mengeja setiap kenangan
Melukis di antara hamparan awan.

Apakah kau masih mengingatku dengan jelas?
Sejelas aku mengingat puncak garuda saat ini

Secarik kertas tersebut aku lipat dan kumasukkan ke dalam saku kemeja. Mengingat Merapi lewat tulisan adalah caraku mengabadikan keindahannya. Merapi yang diidam-idamkan oleh semua pendaki lokal  maupun interlokal, pada malam ini aku mendekapmu dengan aksaraku. Tak akan aku biarkan kau terlelap di antara dinginnya semesta. Aku selimuti dengan aksara, hingga dekapku dapat menghangatkanmu.  

Pandanganku masih tertuju kepada puncak garuda. Rasanya aku ingin berada di atas sana, namun sisi lainku berkata tidak. Batas pendakian hanya sampai pasar bubrah serta plang peringatan dilarang naik puncak tersebar dimana-mana. Menatap puncak garuda dari sini saja aku sudah puas, batinku.  Ku lihat sekitar, banyak sekali bebatuan dan hamparan pasir di setiap pandanganku. Merapi bagiku bukan tentang kehijauan, melainkan tentang kedamaian tanpa merujuk pada warna. 

Malam kian kejam, memaksaku untuk masuk ke dalam tenda dan bersiap-siap untuk memejam. Di luar tenda, angin masih rusuh memorak-porandakan tenda para pendaki. Di bawah tenda, pasir merapi begitu terasa walau matras sudah menjadi perantara. Tanah Merapi memang begitu sulit untuk didirikan tenda. Pasak saja kadang harus menancap sedemikian rupa agar dapat tertanam di tanah Merapi. Jika tidak bisa, terpaksa harus menggunakan batu besar dan berbekal tali rafia untuk dijadikan pengganti pasak.

Ragaku sudah berbaring, di sampingku teman-temanku sudah tertidur pulas, menandakan bahwa pasar bubrah memang seperti rumah. Perlahan mataku terpejam bersama desiran angin yang lembut namun dingin. Biar kutuangkan cerita malam pasar bubrah ini ke dalam zona mimpi. Hingga tak sadar, aku sudah masuk ke alam sadarku, kemudian aku bermimpi.....

Bersambung...



Post a Comment

0 Comments