Perpisahan Itu Biasa Saja

Secangkir kopi telah aku teguk. Malam ini nampaknya tak ada yang spesial. Tak ada bintang-bintang di langit, tak ada nyanyian merdu sang angin, juga tak ada hujan yang membasahi bumi. Hanya kopi dan kertas yang mendampingi diriku sejak sang senja telah pergi dari cakrawala. Sedari tadi, aku hanya melamun, tak mengerti harus melakukan apa dengan kertas kosong yang berada di depanku. Pikiranku terbuai oleh berbagai rasa yang harus aku tuangkan di atas kertas, namun apa daya, hatiku selalu saja tak bisa diajak bekerja sama setelah menuai berbagai perpisahan. Ya, aku sedang tak ingin menulis sesuatu di atas kertas tentang perpisahan, aku tak tahu harus mulai dengan kata apa, atau harus mengganti dengan kata apa untuk kata perpisahan. Aku memutuskan untuk membuat secangkir kopi lagi, lalu duduk di teras rumah sembari melamun, entah memikirkan apa.

Kau tahu, tak pernah ada pertemuan yang harus disesali, setiap pertemuan selalu membuahkan kesenangan, kebahagiaan, dan juga kenangan. Pertemuan sengaja diciptakan Tuhan untuk manusia agar saling berbagi rasa, bercanda dan tertawa, dan mungkin saja berduka lara bersama, saling mendengarkan keluh kesah dan kisah resah. Pertemuan tak pernah menghianati  manusia, baginya manusia merupakan hal  yang berharga saat manusia menyambutnya. Hingga sang mentari bersinar terang di langit bumi sampai kembali lagi ditelan bumi, banyak sekali pertemuan yang terjadi di bumi ini, bisa kau bayangkan, pertemuan tak pernah menolak tentang keberadaan manusia, ia sangat ramah menyambut hadirnya manusia. Bukankah mentari dan bumi pun mengalami pertemuan? Tentu saja, bumi ini sangat luas untuk menampung satu kata pertemuan yang bercabang menjadi berjuta kata. Pertemuan bahkan seringkali berkata,

"Adakah ruang untuk aku masuk ke dalam kehidupan manusia?aku ingin mengenal lebih jauh tentangnya, tentang makhluk yang luar biasa"

Hingga manusia mengalami banyak pertemuan. Berbagi cerita dengan siapa saja yang ia sapa, mengenal suka dan duka bersama, bercanda sesukanya, seterusnya hingga mereka saling bahagia satu sama lain. Aku sendiri, baru saja mengalami pertemuan yang sangat luar biasa. Beberapa bulan yang lalu, atau tepatnya dua bulan yang lalu aku mengalami sebuah mata kuliah yang biasa disebut oleh banyak mahasiswa KKN, iya KKN merupakan kepanjangan dari Kuliah Kerja Nyata. Pertemuan itu tentu seperti pertemuan-pertemuan pada umumnya, kita bertemu, bertegur sapa, berkenalan bersama, lalu berbagi rasa satu sama lain. Setiap hari kita bertemu, menuangkan beribu kisah di atas kanvas putih yang telah tersedia di langit malam. Begitu hari mulai tutup, kami berbagi cerita dan menumpahkannya di atas kanvas tersebut. Entah itu kisah suka, maupun duka. Bagi kami, langit malam pun terlihat indah walau tanpa bintang karena kanvas-kanvas yang berisi cerita kami telah terlihat begitu jelas setelah hari demi hari telah kita isi dengan berbagai cerita. Jadi, apabila kami butuh sebuah wadah untuk menuangkan keluh kesah, tinggal menatap langit malam, maka kanvas tersebut akan dengan senang hati membuka dirinya. Walau kami tahu, setiap malamnya selalu saja mendung dan turun hujan. Namun, tak menghalangi kami untuk tetap berbagi cerita di atas kanvas.

Pertemuan itu seperti halnya otak kita yang berpikir tentang batas alam semesta. Tak terduga dan selalu banyak kejutan.

Selain pertemuan dengan beberapa kawan KKN, pertemuan dengan warga masyarakat desa sekitar membuat kanvas kami lebih terisi banyak cerita. Para ibu-ibu PKK yang senantiasa membuat kami tertawa, murid-murid SD dengan tingkah lakunya yang sudah sedikit dewasa, dan seluruh warga desa yang bersedia menopang bahagia dan sedih kami di tempat mereka. Alangkah bersyukurnya kami pada waktu itu, pertemuan yang membuahkan sebuah kebahagiaan. Tak pernah terpikirkan, bagaimana pertemuan selalu menyenangkan.

Hingga datanglah sosok hitam pekat tersenyum halus, merayu pertemuan untuk segera hilang dalam peradaban manusia. Sosok tersebut diketahui bernama perpisahan.

Bumi ini sangat luas untuk menampung pertemuan, namun tak  bisa dipungkiri bahwa bumi terlalu sempit untuk sekadar diisi dengan pertemuan. Perpisahan hadir untuk menyeimbangkan itu, perpisahan hadir untuk mengajarkan manusia bahwa ada satu kata yang akan membuat hari-harinya menjadi sendu, yaitu rindu.

Perpisahan  ada bagi seluruh manusia yang meracik zat rindunya sendiri menjadi sedemikian rupa. 

Perpisahan tak  pernah disesali, seperti halnya pertemuan. Bukankah perpisahan sudah menjadi sahabat baik pertemuan semenjak dahulu kala?aku tahu itu saat sosok hitam pekat itu tersenyum halus seakan-akan tidak mau menyakiti sang pertemuan. Aku tahu itu, karena bagiku, perpisahan mengajariku banyak hal, tak terkecuali soal bagaimana merelakan tanpa harus rela, melepaskan tanpa harus lepas, dan menangisi tanpa harus menangis.

Jika boleh mengutip judul lagu dari Efek Rumah Kaca, bagiku perpisahan itu biasa saja. Kita tetap akan melewati berbagai perpisahan saat menemui pertemuan. Seperti halnya mentari, ia selalu bertemu dengan bumi dan berpisah dengan bumi di setiap harinya.

Malamku akhirnya sudah menunjukkan pukul  00.00 WIB. Kuputar lagu-lagu  Dialog Dini Hari, lagu oksigen menjadi favoritku saat itu. Lalu bergegas aku menuju kertas kosong tersebut, aku tulis beberapa kata agar kertas itu tidak merasa dihiraukan begitu saja.

Kata Pidi Baiq, "Perpisahan adalah upacara menyambut hari-hari penuh rindu. 
Kataku, Perpisahan adalah waktu untuk manusia bergegas menjadi barista sendu, lalu meracik zat-zat rindu setiap waktu. Tak perlu meracik kopi, bagi barista sendu, rindu adalah hal terpahit sekaligus termanis dalam satu waktu.

Adibio,
Semarang, 15 Maret 2018.

bersama pak Kukuh, kepala desa idola kita semua



Post a Comment

0 Comments