Aku adalah......

Aku adalah sisa-sisa melodi yang tak kau iringi dengan musik elegi

Aku adalah sisa-sisa cerita malam mu yang kau hempaskan ke luar angkasa, membiarkan segalanya tak tersisa, hingga membuatku buta akan rasa. Bahkan sisa-sisa pun tak pantas berada dalam kata aku. Lalu, kamu tergoda oleh indahnya bintang-bintang yang terang benderang, mengharap agar bintang tetap menemani di setiap malam mu, menghangatkan tubuhmu, dan merangkai setiap kepingan hati yang terlanjur pecah akibat ulahku. Aku tetap tak lebih dari sisa-sisa, tak tersisa, atau bahkan mati rasa di hadapanmu. Kamu selalu mengais setiap butiran pasir yang menodai setiap langkah kakimu, membiarkan itu tetap larut ke dalam ceritamu, lantas menggodamu dengan berbagai hal yang tak dapat aku perbaiki di  masa lalu. Tatkala sinar senja menutup semesta dengan berbagai retorikanya, kamu sibuk mencari lembayung jingga di setiap sudut kota. Berharap menemukan warna yang kau idam-idamkan saat semesta tak lagi menyapa diriku, menuliskan setiap secercah kata untuk dipersembahkan kepada sang semesta kala jingga menguasai langit. 

Aku adalah sisa-sisa kata-kata mu yang tak tersisa saat dipersembahkan oleh sang semesta

Kudengar, kamu sedang tertarik dengan hingar bingar sang fajar yang sedang menyapa embun. Ataukah itu hanya sekadar ketertarikanmu dalam sekejap?aku tahu, kamu terlalu cepat bosan dalam hal-hal yang baru engkau temukan. Aku tahu kamu, lebih dari yang kamu tahu. Sudahlah, lekas temukan secarik aksara yang menyelinap dibalik tetesan embun kala fajar menari-nari, buatlah ia lebih indah di sekitar serpihan hati yang sedang engkau perbaiki. Namun aku ingatkan, hatimu sudah lebih dari indah walau sedang terpecah belah akibat ulah seorang manusia yang tak tahu arah. Cakrawala maya tak begitu terlihat kala siang hari merajalela, itulah sebabnya kamu tak pernah merangkai kata-kata saat siang tiba. Kamu hanya sibuk mendengarkan lagu-lagu dari Alesana. Katamu, musik keras merupakan hal yang patut di syukuri keberadaannya. Musik keras selalu membuat dirimu bersemangat saat menjalankan aktifitas. Itulah alasan mengapa kamu  sampai saat ini selalu mendengarkan Alesana, bukan? Selain itu merupakan saran dari ku kala itu--saat kita masih berdialog dengan ria di bawah cakrawala langit yang begitu sendu, dinaungi oleh aksara-aksara yang begitu merdu. Aku senang, kamu tenang, dunia begitu gemilang.

Aku adalah rangkaian kata yang kau cerna tanpa makna

Katamu, semesta tak selalu memberikan apa yang kita minta. Memang benar. Semesta tak selalu memberikan apa yang kita minta, namun semesta selalu memberikan apa yang kita butuhkan. Ketenangan, kedamaian, kesunyian itukah yang kamu minta kepada semesta? atau kamu  meminta uang yang tak terhingga? Jika uang yang kamu minta kepada semesta, maka izinkanlah aku memberitahumu lewat desiran angin malam yang sedang menemaniku menulis ini. Kau tahu, uang hanya sekadar alat yang tak lebih untuk memperalat diri kita sendiri. Sedangkan kita adalah manusia yang tak di  peralat oleh siapapun, bahkan dengan uang sekalipun. Kita terlahir bebas, kita mengenal semesta lebih awal ketimbang uang. Itu yang ingin kusampaikan kepadamu jika uang yang kamu minta, semoga desiran angin tak pernah ingkar janji. Namun, jika ketenangan, kedamaian, dan kesunyian yang kamu minta kepada semesta, maka sekali lagi izinkan aku memberitahumu lewat sinar senja yang begitu mesra. Kau tak perlu meminta itu semua, semesta selalu berikan lewat berbagai  cara yang bisa engkau capai dengan sendirinya, dengan caramu, dengan jalanmu sendiri. Maka, ketiga unsur tersebut akan engkau dapatkan dengan penuh keyakinan. Sekali lagi, semoga sinar senja tak ingkar janji, sama halnya dengan desiran angin.

Aku adalah desiran angin dan sinar senja yang mengetuk pintu hatimu

Kita, pernah berbagi cerita. Di bawah langit yang syahdu, ditemani alunan angin yang merdu, juga sinar senja yang sendu. Cerita kita mengenai apa saja,  mulai dari diri kita sampai kepada keluarga masing-masing. Kamu tertawa, aku menangkap tawa tersebut kedalam memoriku. Kamu terdiam, aku mengalunkan kedamaian lewat hatiku ke hatimu. Kamu  tersenyum, aku hanya terdiam, aku tak bisa melakukan apapun saat engkau tersenyum, bahkan hatiku pun ikut terdiam. Aku menjadi budak andaikan kala itu. Andaikan waktu berhenti sekejap, andaikan aku terus berada disana denganmu, andaikan aku tak melakukan hal ceroboh yang membuat perbincangan kita berakhir begitu saja. Ah, aku merasa menjadi manusia yang sia-sia. 

Aku adalah sisa-sisa warna jinggamu yang terlanjur kau tumpahkan ke dalam abu-abu.

Di bawah rentetan aksara yang menuntutku untuk menyampaikan kata kepada semesta, aku sedang mendengarkan lagu favorit kita kala jingga sedang menyapa semesta. Menuai beribu macam penyesalan yang tak kunjung berkesudahan. Meniti segala rasa yang tak pernah tersisa. Menggaungkan semangat yang aku tahu hanya sekadar penghangat semata. Tidak apa-apa. Aku baik-baik saja, asal kamu masih berdiskusi  dengan semesta. Harapanku, semoga dengan itu kita dapat dipertemukan kembali lewat kata-kata yang tersirat dan tersurat kepada semesta.

Sekali lagi, aku adalah kalimatmu yang tak sempat engkau selesaikan.


Aku adalah sang fajar yang tak  sempat engkau sapa di pagi hari


Np Payung Teduh - Kita adalah Sisa-Sisa Keikhlasan yang tak Diikhlaskan

Semarang, 12 Juli 2017
Tertanda.
Budak Andaikan 

Post a Comment

0 Comments